1.
Ritual
Dalam Agama Buddha
a.
Pengertian
Ritual
Dalam setiap agama ada ritual keagamaan yang
dilakukan dengan berbagai tujuan. Di dalam agama Buddha yang dimaksud dengan
ritual buddhis adalah semua kegiatan yang dilakukan yang berhubungan dengan
peningkatan keyakinan terhadap agama Buddha. Ritual buddhis meliputi puja
bhakti atau kebaktian yang biasa dilakukan setiap minggu atau upacara-upacara
tertentu seperti pelimpahan jasa, berulang-ulang mengucapkan nama Buddha dengan
sepenuh hati, Pai Chan (ksamayati), dan sebagainya.
Sudah sejak dahulu ritual-ritual tertentu dijalankan
oleh umat Buddha sesuai dengan tradisi atau budaya tertentu. Di Asia Timur
sebagian besar buddhisnya adalah pengikut tradisi Mahayana yang mempunyai
ritual yang sangat beragam, kompleks dan banyak. Sedangkan di Asia Tenggara di
mana tradisi Theravada tumbuh subur, juga memiliki ritual buddhis, namun tidak
serumit Mahayana. Di Tibet terdapat tradisi ritual buddhis yang kompleks
sebagai basis Buddhisme Vajrayana.
Ritual yang wajib dilakukan menjelang Tri Suci
Waisak. Ritual dengan makna penyucian diri ini, identik dengan umat Buddha
beraliran Mahayana. Ritual Yu Fo atau bagi masyarakatumum dikenal dengan
istilah pemandian rupang (patung) Buddha selalu menjadi pemandangan menarik
yang umumnya digelar sebelum puncak detik-detik Waisak digelar. Karena selalu
menjadi ritual yang mendapat aten-si besar dari umat Buddha. Seperti yang
terlihat dalam perayaan Waisak yang digelar Sangha Mahayana Indonesia beberapa
hari sebelum puncak perayaan Waisak 28 Mei lalu. Ribuan umat Buddha dengan rapi
mengantre untuk melakukan ritual Yu Fo ini. Pada setiap harus ditaruh rupang
Buddha di atas kolam kecil. Umat yang mengantre kemudian mengambil air dari
kolam kecil itu dan menyirami rupang Buddha di hadapan mereka sambil tak lupa
berdoa. Sejarah pemandian rupang Buddha dalam tradisi Buddha Mahayana ada untuk
menandai kelahiran Pangeran Siddharta (Lebih dikenal Buddha) yang diyakini
lahir seminggu sebelum purnama tanggal 8 bulan 4 penanggalan Lunar (Chinese
kalender).
Alasan
mengapa seseorang atau umat melakukan ritual adalah sebagai berikut:
1. Dapat meningkatkan keyakinan yang
pada giliran selanjutnya minimal akan teringat ajaran Buddha: hindari perbuatan
buruk; lakukan perbuatan baik; dan terus melatih diri dengan renungan serta
meditasi agar emosi dan keegoisan terkendali.
2. Dengan melakukan puja bakti atau
kebaktian hendaknya seseorang mengerti makna dibalik ritual yang dilakukannya.
Seperti berdana untuk mengikis keegoisan dan kemelekatan; baca-baca sutta Pali
atau sutra Sansekerta atau mantera Mandarin harus diikuti dengan
pengertian terhadap arti dibaliknya yang positif.
Dalam
setiap ritual buddhis yang besar, sebaiknya para pemuka agama Buddha berpikir
akibat dari tindakan yang dilakukan. Pembakaran kertas, lilin, atau dupa yang
berlebih-lebihan secara tidak langsung mengancam lingkungan kita. Memang sangat
sulit untuk merubah tradisi yang telah dijalankan turun-temurun. Disitulah
diperlukan kebijaksanaan setiap umat Buddha. Tradisi-tradisi tertentu bisa
dipertahankan, tradisi-tradisi tertentu juga bisa diserhanakan atau
disesuaikan, atau bahkan tradisitradisi tertentu dapat dihilangkan dan
digantikan dengan tradisi baru yang lebih sesuai dengan zaman. Sudah saatnya
para pemuka agama Buddha memerhatikan hal ini. Jika tidak tradisi buddhis yang
berteletele akan sulit diterima oleh generasi muda yang akan datang apalagi
tidak diberikan penjelasan yang masuk akal. Hal tersebut pada gilirannya akan
membuat keyakinan terhadap agama Buddha menjadi luntur dan berpindah keyakinan.
Saatnya kita berani berubah dan menyesuaikan dengan kondisi zaman. (Willy Yandi Wijaya)
2.
Ritual
Di Negara-Negara Buddhis
a.
Tibet
Di tibet ‘’Dari segi
ritual, pola-pola ritualnya menggunakan
mantra. Mantra merupakan ringkasan dari ajaran Budha yang terdiri dari
Terawada, Mahayana dan Tentrayana, Terawada merupakan ajaran Budha paling awal
yang kemudian ditambahai komentar oleh Mahayana, dan diringkas kembali oleh
Tentrayana dari kitab (ajaran awal dan keterangan) menjadi hanya beberapa
kahmat saja, namun pengucapannya juga dimaknai seperti memahami seluruh isi
satu kitab. Dalam sebuah upacara pembacaan mantra diulangulang untuk mengikis
hal-hal yang buruk dan agar selalu berpikir hal-hal yang baik bila pikiran baik
maka perbuaaan dan perbuatan akan berlaku serupa. Tujuan akhir dari itu semua
adalah untuk menjaga agar pikiran manusia bisa menjadi baik.
Beberapa patung yang
terdapat di candi Plaosan memilild arti tertentu, seperti patung Budha di
tengah Dhiani Budha (Vahirocana) dan Bodhisatwa, yang berwarna merah adalah
awalukiswara, lambang kasih sayang, yang berwarna kuning disebelah kiri adalah
Vajravani merupakan lambang kebijaksanaan. Sebagai tempat untuk duduk
sembanyang, candi Plaosan tentunya akan sangat nyaman bila ditanami oleh
pepohonan yang rindang sebagai peneduh.
Dalam hal ini vegetasi
yang mungkin cocok untuk candi Plaosan adalah pohon teratai, yang bisa ditanam
di parit dan pohon Bodhi, selain untuk peneduh terdapat pula upacara ritual
penghormatan pohon Bodhi yang merupakan benih-benih dari kesucian .
b.
Sri
langka
Aliran ini memusatkan
pemujaan terhadap Devi/Dewi sebagai Ibu Bhairawa (Ibu Durga atau Kali).
Sebagai sakti (istri) Dewa Siwa, kedudukan Dewi Durga ini lebih
ditonjolkan daripada dewa itu sendiri. Peran Dewi Durga dalam menyelamatkan dunia
dari ambang kehancuran ini disebut Kalimasada (Kali-Maha-Husada),
artinya “Dewi Durga adalah obat yang paling mujarab” dalam zaman kekacauan
moral, pikiran, dan perilaku. Pengikut Saktiisme ini tidak mengikuti sistem kasta
dan Veda (Weda). Dalam menunaikan ajaran, pengikutnya
melaksanakan Panca Ma yang diubah arti dan pemahamannya menjadi pemuasan
nafsu; maka dari itu akhirnya aliran ini dikucilkan dari Veda, keluar dari
Hindusme. Syahdan, ketika terjadi peperangan antara bangsa Arya melawan
Dravida, lahirlah Sadashiva, artinya "dia yang selalu terserap
dalam kesadaran", yang kemudian dikenal sebagai Shiva (Siwa), seorang guru
rohani. Sumbangan terbesar Siwa terhadap peradaban adalah pengenalan konsep dharma.
Seperti ajaran kuno lain, ajaran Siwa disampaikan dari mulut ke mulut, dan baru
kemudian dituliskan ke dalam sebuah kitab.
Mazhab Mahayana memiliki akar pandangan
yang sama dengan Tantrayana, khususnya dalam hal Yogacara. Namun, Tantrayana
berbeda dengan Mahayana dalam hal tujuan, wujud manusia yang telah mencapai
tujuan Tantrayana, dan cara pengajarannya. Hal ini terlihat salah satunya dari
pemujaan terhadap sakti Boddhisatwa dan pemujaan terhadap kekuatan gaib
dari Dhyani Buddha. Ajarannya lebih bersifat esoterik karena penyebarannya
bersifat rahasia dan tersembunyi. Tantra diajarkan oleh seorang guru pada
siswanya setelah melalui upacara-upacara ritual dan berbagai bentuk
ujian.
c. Jepang
Para penganut aliran
Mahayana menghormati Buddha Sakyamuni dan berbagai Boddhisattva (seperti Maitreya, Avalokitesvara atau
Kuan Yin). Mahayana (khususnya di Tibet) memuja semua Buddha terdahulu atau Adi
Buddha, Amitabha, Vairocana, Askyobhya, Amoghasiddhi, dan Ratnasambhava, Tantra
dan Mandala adalah termasuk praktik dalam Mahayana Tibet.
Sedangkan
Theravada tidak mengabaikan adanya berbagai makhluk spiritual di jagad raya ini. Para penganutnya hanya memuja
Buddha yang disebutkan dalam Tipitaka, khusunya Buddha Sakyamuni, yang dikenal
juga sebagai Buddha Gotama. Theravada tidak memuja para Bodhisatva walaupun
mereka memberikan rasa hormat karena kebijaksanaan dan kasih sayangnya yang
besar. Semangat bakti
terlihat sangat menonjol di vihara-vihara Mahayana, khususnya di negara-negara
yang sangat di pengaruhi oleh kebudayaan China. Hal ini tidak terpopuler di
negara-negara Buddhis Theravada kecuali Thailand. Di Vihara-Vihara Mahayana, para pemuja menggunakan
gambar dan relik (termasuk abu kremasi) dari anggota keluarganya yang sudah
meninggal. Relik ini kemudian digunakan sebagai obyek sembahyang dan pemujaan.
Umat Buddha Mahayana mempersembahkan bunga, dupa, lilin, buah dan makanan, yang
secara harfiah untuk menghormati roh dari orang yang telah meninggal. Tradisi
ini tersimpan dalam ingatan para anggota keluarga yang telah meninggal.
Pali Sutta
diucapkan di Vihara-Vihara, Theravada sedangkan syair-syair suci Sansekerta diucapkan di Vihara-Vihara Mahayana. Sebagai
Tambahan dalam Bahasa Pali dan Bahasa Sansekerta logat seperti Birma, China,
Jepang, Newari, Thai dan sebagainya dipergunakan tergantung pada kebudayaan
setiap penganutnya.
Secara keseluruhan, Vihara-Vihara Mahayana terkesan meriah
dan indah, dihiasi dengan gambar beraneka warna, patung dan hiasan lainnya.
Vihara-vihara Theravada biasanya tampak sederhana dan miskin dekorasi
dibandingkan dengan vihara-vihara Mahayana. Hal yang sama, ritual Mahayana jauh
lebih meriah susunannya daripada praktik ritual Theravada.
d.
Korea
Ajaran Buddha MAHAYANA dapat bervariasi,
inti nilai-nilai yang ditetapkan oleh Sang Buddha masih bersama oleh semua umat
Buddha. Metode mereka mungkin berbeda, tujuan akhir dari pencerahan melalui
disiplin pasien, meditasi, hidup benar, dan kasih sayang bagi kehidupan semua
adalah benang merah yang berjalan dalam melalui semua pemikiran Buddha dan
tradisi. Hal ini tepat untuk mengatakan bahwa Buddhisme Mahayana adalah
perpanjangan atau kelanjutan dari Buddhisme Theravada, tetapi tanpa ada
terlebih dahulu Theravada, tidak mungkin ada Mahayana.
e.
China
Ritual’’memuja rupang (patung) Sang
Buddha, dengan cara menunjukan bentuk penghormatan dan pemujaan atas kekaguman
kita pada Sang Buddha. Seperti ketika seorang guru yangmasuk ke dalam ruangan
dan murid-murid berdiri, ketika kita bertemu dengan orangyang terkemuka dan
kita segera menjabat tangannya, ketika lagu kebangsaan dikumandangkan dan kita
berdiri memberi hormat. Pemujaan seperti inilah yang dilakukan seorang umat
Buddha, yakni dengan melaksanakan ajaran-ajaran Buddha seperti berusaha tidak
menyakiti makhluk hidup, menghindari mencuri, melatih kejujuran dengan tidak
berbohong, dan lain sebagainya;bukan meminta kekayaan,kesehatan, dan sebagainya
yang jelas tidak mungkin karena patung
tidak bisa memberi kekayaan atau kesehatan. Rupang Buddha dengan tangan
yang diletakkan dengan lembut diatas pangkuannya dan senyuman cinta kasihnya mengingatkan kita untuk berusaha
mengembangkan kedamaian dan cinta diantara kita. Ketika kita membungkuk
padanya, kita menunjukkan apa yang kita rasakan di dalam diri kita sendiri; yaitu
penghargaan pada Sang Buddha atas ajaran yang telah diberikan pada kita. Orang-orang mengatakan bahwa umat Buddha menyembah berhala, pernyataan
seperti ini adalah sebuah kesalahpahaman. Berhala sendiri mempunyai arti sebuahimage atau patung yang disembah sebagai Tuhan. Buddha
bukanlah Tuhan, jadi bagaimana mungkin kita dapat meyakini bahwa sepotong kayu
atau logam adalah Tuhan. Rupang Sang Buddha.
3.
Simbol-Simbol
Dalam Agama Buddha Mahayana
a.
Pengertian
Simbol
Salah satu jenis ungkapan rasa seni
manusia yang paling awal adalah simbol. Bentuk ini telah dikenal oleh umat
manusia beribu-ribu tahun sebelum tulisan ditemukan, sehingga tidaklah
mengherankan pemakaian symbol pun telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari
peradaban manusia.
Salah satu bentuk penggunaan simbol
yang paling penting diaplikasikan dalam konteks religius. Semua agama maupun
kepercayaan memiliki berbagai simbol yang merepresentasikan ajaran,
perlambangan suatu peristiwa penting maupun sebagai tanda identitas yang unik
bagi agama tersebut. Dalam pengertiannya yang paling dasar, simbol memiliki
makna yang sama dengan lambang, yaitu sesuatu seperti tanda (lukisan, lencana,
dsb.) yang menyatakan suatu hal atau mengandung maksud tertentu.
Simbol pada dasarnya adalah sarana
yang mengandung suatu pernyataan khusus dimana makna tersebut berhubungan
dengan karakteristik visual dari tanda yang digunakan. Tanda yang digunakan
dapat terinspirasi oleh banyak hal, contohnya oleh peralatan buatan manusia,
alam, binatang maupun tumbuhan. Agama Buddha yang telah eksis selama kurang
lebih dua ribu enam ratus tahun memiliki beragam simbol yang merepresentasikan
daerah berkembangnya simbol tersebut. Pada bagian berikut, penulis akan
menyajikan pemaparan singkat mengenai berbagai symbol Buddhisme yang populer.
b.
Macam-Macam
Simbol Dalam Agama Buddha
1.
Roda
Berjari-jariDelapan
(Dharmachakra) Dharmachakra (Sansekerta) atau Dhammacakka
(Pali).Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika
Magga). Makna lambang tersebut dapat dijabarkan lebih
luas lagi seperti berikut :
·
Bentuk keseluruhannya
merupakan lingkaran yang melambangkan kesempurnaan Dharma.
·
Tiga buah lingkaran di pusat
roda melambangkan Tiga Mestikayaitu Buddha, Dharma, dan Sangha.
·
Pusat roda yang melambangkan
disiplin sebagai hal mendasar dalam meditasi.
·
Delapan jari-jarinya
menyimbolkan Jalan MuliaBerunsur Delapan yang diajarkan
Sang Buddha (juga dapatmelambangkan Welas asih &Kebijaksanaan).
Sang Buddha (juga dapatmelambangkan Welas asih &Kebijaksanaan).
·
Pinggiran roda melambangkan
praktik meditasi yang menyatukan seluruh unsur-unsur tersebut. Di antara semua
lambangBuddhis, lambang inilah yang
paling dikenal oleh komunitasinternasional sebagai perlambangagama Buddha.
paling dikenal oleh komunitasinternasional sebagai perlambangagama Buddha.
2.
PohonBodhi
Pohon Bodhi (Ficus
religiosa) merupakansimbol
pencapaian pandanganterang Pangeran Sidhartha
menjadi Buddha. Pohon Bodhi sendiri merupakan salah satubentuk
penghormatan kepadaSang Buddha karena di bawah lindungan pohon itulah Pangeran
Sidhartha bermeditasi sampai mencapai
ke-Buddhaan
3.
Telapak
KakiSang Buddha
Telapak kaki Sang Buddha Simbol ini melambangkan kehadiran sik dari Sang
Buddha di bumi ini. Di telapak kaki tersebut juga terdapat simbol Dharmacakra
yang merupakan salah satu dari tiga puluh dua tanda khusus dari seorang Buddha.
4.
Swastika
Swastika berasaldari katasvastika(Sansekerta)
yangberarti objek keberuntungan atau kesejahteraan. Simbol ini merupakan salah
satu simboltertua yang telah dipakaioleh banyak peradaban dan kebudayaan
di dunia. Motif ini kemungkinan dipakai pertama sekali pada zaman Neolitik
Eropa dan Asia. Bukti-bukti arkeologi menyatakan bahwa lambang ini banyak
dipakai oleh peradaban besar dunia seperti Yunani, Romawi, Eropa Barat, Skandinavia,
Asia, Afrika dan penduduk asli Amerika.
Penggunaan lambang swastika dalam Buddhisme dipelopori di Jepang dan sebagian
besar negara Asia
Timur lainnya. Swastika sendiri
mengandung makna Dharma, keharmonisan
universal dan keseimbangan. Swastika umumnya
digunakan di ukiran wihara dan kuil, dada patung Sang Buddha, maupun
kadang-kadang di gambar telapak kaki Sang Buddha.
Hal yang menarik dari simbol ini adalah penggunaan lambang serupa tapi
berbeda oleh Nazi Jerman selama Perang Dunia II. Hal ini menimbulkan pandangan
negara-negara Barat bahwa swastika merupakan lambang dari Nazi- isme maupun
rasisme, padahal swastika sendiri memiliki makna yang positif bagi pengguna
lainnya. Bentuk swastika Nazi menghadap ke kanan sedangkan arah swastika
Buddhis menghadap ke kiri. Walaupun demikian masih banyak pihak yang memandang swastika
adalah lambang Nazi Jerman belaka. Hal ini
tidak lepas dari “keberhasilan” Nazi dalam mempopulerkan lambang ini selama
Perang Dunia II.
5. Bendera
Buddhis
Lambang Buddhis ini merupakan lambang yang usianya paling muda karena
diciptakan oleh Kolonel Henry Steele Olcott, seorangjurnalis Amerika Serikat
pada tahun 1880. Bendera ini pertama sekali dipakai di Sri Lanka pada tahun
1885. Secara keseluruhan, lambang ini melambangkan kedamaian dan keyakinan.
Arti dari masing-masing warna di bendera Buddhis tersebut adalah :
Ø Biru ’’Cinta
kasih, kedamaian dan kemurahan hati universal.
Ø Kuning : Jalan Tengah –menghindari sisi ekstrim.
Ø Merah : Berkah dari praktik Dharma–pencapaian
kebijaksanaan,ke-unggulan,kesejahteraan dan kehormatan.
Ø Putih : Kesucian Dharma– menuntun kepada pembebasan
sempurna.
Ø
Jingga : Ajaran Sang
Buddha– Kebijaksanaan.
Daftar Pustaka
Dharmacakra”. Dalam Wikipedia, en.wikipedia.org/wiki/Dharmacakra
”Dharma Wheel (Dharmachakra)”.
Dalam BuddhaNet,
“Swastika”. Dalam Wikipedia,
en.wikipedia.org/wiki/Swastika
Salah satu arca tanpa kepala di kompleks Candi Sukuh
syng nya zaman sekarang ajaran buddha seperti layaknya menyembah berhala, alih2 bukannya meniti pada meditasi & cinta kasih tapi malah memuja2 sesuatu yang bukan ajaran sang buddha....
BalasHapusBlog yang menarik, tradisi Buddhisme sangat mendalam di Jepang..... Seperti Shugendo, suatu agama berdasarkan penyembahan gunung, campuran antara Buddhis dan tradisi Shinto. Para penganut Shugendo, melakukan tindakan pengorbanan diri sebagai jalan untuk mentransedensikan dunia jasmaniah
BalasHapusSaya mencoba menulis blog tentang hali ini, semoga anda suka: http://stenote-berkata.blogspot.com/2020/07/wawancara-dengan-haruki.html