Rabu, 10 Oktober 2012

Filsafat Agama Buddha



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Buddhisme belakangan menceritakan beberapa perkembangan sekolah-sekolah abhidharma dan Mahayana yang ditelusurui samapai ke masa sang Buddha sendiri. Skolatisme merupakan sekolah awal yang berkembang. Walaupun asalnya dapat ditelusuri sampai pada periode awal ,diperlukan beberapa waktu agar tradisi-tradisi ini dapat mengkristal pada sekolah-sekolah yang utama. Namun komplikasi kitab Abhidharma pitaka dan sutra-sutra Mahayana awal telah menyusul setelah finalisasi nikaya pali dan Agama yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.
Gambaran lengkap dari buddhisme awal di bentuk dari sutta-sutta, sehingga muncul dua tradisi utama yaitu Hinayana dan Mahayana. Analisis doktrin Buddha awal secara sendiri-sendiri tanpa menggunakan perspektif hinayana ataupun Mahayana. Dalam buddhisme belakangan mengenai doktrin-doktrin yang dikatakan oleh Nagarjuna atau Vasubandhu atau Buddhagosa. Hasilnya adalah penolakan absolutisme dan Transendentalisme seperti bentuk yang dikenali oleh kaum Hinayana ataupun kaum Mahayana.
Garis besara pada masa buddhisme belakangan yang terjadi pada pemikiran kaum Buddha  dikarenakan oleh konsep  dasar filosofisnya  yang sudah berkembanga baik sebelum Buddhisme meninggalkan pantai dan batas india.  Yang dibahas bukanlah sekolah-sekolah belakangan ini melainkan aspek dari Buddhisme zen, dimana zen merupakan suatu perkembangan di ciana yang lain dari pada yang lain yang memiliki pandangan yang bersajak konsepsi yang sama sekali salah tentang apa yang diajarkan Sang Buddha.
Dari masalah dan beberapa ulasan diatas maka Penulis tertarik untuk membahas beberapa perkembangan dan doktrin-doktrin masa Buddhisme belakangan.
BAB I I
PEMBAHASAN
  1. AWAL SKOLATISME DAN MAHAYANA
Pertemuan tentang pengumpulan sutta menandakan awal dari skolatisisme seratus tahun pertama setelah kematian Sang Buddha barangkali menyaksikan pengumpulan dan pengkelasan seluruh kumpulan-kumpulan sutta-sutta menjadi lima kelompok (nikaya), sedangkan sebagian besar peraturan (vinaya), Masuk dalam kelompok tersendiri. Kegiatan skolastik tidak berhenti sampai disini saja, melainkan penelaahan kumpulan suta ini yang coraknya dicirikan oleh penggunaan kiasan. Anekdot, ilustrasi, dan pengulangan yang terus menerus, ini dipakai pada saat ajaran-ajaran yang dikuatirkan akan disalah tafsirkan, jadi dari sutra dan cirinya diatas digunakan untuk mencegah adanya salah tafsir dari ajaran-ajaran Sang Buddha, dalam ajaran ini ditemukan daftar ajaran yang penting yang diturunkan dari mulut kemulut.
Peristiwa kedua dalam kematian agung adalah ratapan para dewa dan manusia (termasuk ananda yang belum mencapai kearahat). Manusia atau umat awam pada umumnya dikuasi oleh emosi-emosi walaupun emosi cenderung mengaburkan pencerapan akan kebenaran dan seharusnya dikendalikan untuk mencapai tahapan perkembangan spiritual yang lebih tinggi. Namun emosi keagamaan dapat memberikan nuansa baru bagi kehidupan umat awam dan mampu memperbaiki nasip spiritualnya. Sang Buddha menunjukan bahwa umat yang memiliki keyakinan, para bikkhu dan bikkhuni, upasaka-upasika, yang mungkin akan menjunjung keempat tempat yang mungkin akan menjunjung tingkat emosi ini. Jadi kedua sikap ini yang yang memperlihatkan sikap siswa Sang Buddha yang harus memiliki banyak keyakinan dan tidak memiliki emosi yang tinggi dan harus memiliki emosi keagamaan yang tinggi untuk menjunjung keyakinan spiritual yang tinggi dan memiliki nuansa yang baru, dan tidak lepas dari ajaran Sang Buddha yang telah diajarkan beliau sebelum parinibana.

  1. SKOLATISME THERAVADA, SARVASTIVADHA, DAN SAUNTRATIKA
Skolastisisme dalam buddhis ini timbul seperti yang telah dijelaskan dalam bab delapan yaitu karena adanya kebutuhan untuk mengajarkan ajaran-ajaran Sang Buddha dan tidak memberikan kesempatan pada timbulnya perpecahan. Dari hal ini ada salah satu cara yang dipakai untuk keperluan ini yaitu untuk mengajarkan ajaran-ajaran Sang Buddha seperti yang terdapat dalam Sangiti-sutanta yang tidak menimbulkan ketidak sepakatan. Dari hal ini metode yang digunakan Sang Buddha yang sering digunakan telah dirubah yang semula menggunakan anekdot, kiasan dan metafora yang semula gaya ini digunakan dengan gaya memutar, langsung dan sekarang menggunakan istilah yang telah dipilih dan yang telah mementingkan ketepatan yang merupakan ciri dari abiddharma.
Bab ini merupakan perbedaan awal antara suta dan pembahasan skolatisisme, yaitu sebagai contoh sutta dipandang sebagai ajaran-ajaran yang popular sedangkan abiddharma dipandang sebagai uraian tentang realitas terahir dari hal inilah yang merupakan perbedaan yang lebih mengacu kepada masalah gaya, tetapi yang berakibat terhadap perbedaan menyangkut isi dari ajaran yang sesungguhnya.
Kaum sautrantiaka menerima doktrin-doktrin tentang saat yang diketemukan dalam tiga sekolah., dan doktrin ini tidak dapat diketemukan dalam tradisi Theravada-prabuddhagosa. Sebagai akibat diterimanya teori saat para cendikiawan dihadapkan pada persoalan filsafat yang menimbulkan perbedaan-perbedaa yang nyata yaitu mengenai masalah pencerapan dan kausalitas, jadi kauma sauntratika setelah menerima doktin-doktrin tentang saat menemukan suatu perbedaan mengenai pencerapan dan kausalitas
Substansi ini dapat disimpulkan bahwa semuanya adalah pencerapan mengenai enam landasan indra adalah tidak langsung dan kaum sarvastivadin menjunjung suatu teori adalah obyek pencerapan suatu agregat, sedangkan kaum sautrantika menuntut bahwa obyek luar tidak  langsung juga dapat disebut sebagai teori atom. Setelah menerangkan teori saat dan para cendikiawan mengalami kesulitan maka timbulah konsepsi tentang substansi, kaum abiddharma menerangkan konsep ini sebagai problem kesinambungan dan fenomena  yang telah diuraikan menjadi keberadaan yang bersifat sesaat.
Jadi suatu metode dalam suatu pengajaran akan berpengaruh dalam suatu perkembangan karaena, tiap pencerapan dari tiap orang selalu berbeda dan pencerapan yang diterima akan selalu dikembangkan untuk menjadi sesuatu yang baru.

  1. PERKEMBANGAN MAHAYANA
Mahayana merupakan kulminasi dari spikulasi (pendapat atau keadaan yang tidak berdasarkan kenyataan) dari keadaan sebenarnya sang Buddha,dan spekulasi ini sudah meluas semasa kehidupan sang Buddha. Dalam angutara-nikaya ada pertanyaan yang mengenai siapakah sang Buddha, Buddha menjawab bahwa beliau bukan dewa, maupun gandhaba , manusia atau yakha, tetapi implikasi yang dinyatakan sang Buddha adalah, sang Buddha telah menghapus keinginan rendah dan kemelekatan akan segala sesuatu yang ada didunia, dan beliau tidak dapat dijelaskan sebagai orang yang masih memiliki hal tersebut, jadi sang Buddha adalah orang yang sudah tidak memiliki keinginan nafsu rendah atau terbebas dari segala penderitaan.
 Secara historis kemunculan Mahayana dimulai sejak Sang Buddha Parinirvana (544 atau 487 SM ), dan menjadi hampir lengkap pada abad pertama. Selama setelah parinirvananya Sang Buddha dan menjelang abad tersebut bermuncullah aliran-aliran pikiran dalam agama Buddha. Oleh karena itu kemunculan Mahayana perlu dilihat dari adanya konsili-konsili. Pada konsili kedua di kota Vesali pada pemerintahan raja Kalasoka. Diadakan mengingat munculnya beberapa masalah berkenaan dengan Dhamma dan Vinaya yang menimbulkan beberapa perpecahan kemudian muncul dua golongan yaitu Mahasangika dan Sthaviravada.
Konsili keempat pada tahun 78 M di Khasmir yang dipimpin oleh Vasumitra dan Asvaghosa yang diselenggarakan atas anjuran raja Kanishka merupakan titik awal dari perkembangan Mahayana dan pada konsili ini tidak dihadiri oleh golongan Sthaviravada (sesepuh Theravada). Mahayana merupakan kulnimasi dari spekulasi yang berkenaan dengan keadaan yang sebenarnya dari Sang Buddha. Spekulasi ini amat meluas bahkan semasa kehidupan Sang Buddha. Dalam Anguttara Nikaya untuk menjawab siapakah Buddha? Sang Buddha, menyatakan dirinya sebagai bukan dewa, gandhaba, atau yakkha atau manusia. Tahap permulaan dari perkembangan Mahayana ada dua doktrin yang tumbuh.    Pertama adalah doktrin kemajemukan Buddha-Buddha yang mengarah ke konsepsi monisme transendental seperti yang diwakili oleh istilah-istilah seperti Tathata dan dharmakaya pada kitab-kitab Mahayana.    Kedua adalah doktrin tentang mahkluk yang sedang menuju penerangan sempurna (Bodhisattva).
Walaupun  konsepsi transendental Buddha, begitupun konsepsi yang diperluas dari Bodhisatva dikembangkan dalam lingkungan tiga tradisi yaitu theravada, sarvastivada dan lokuttaravada. Usaha sengaja untuk merendahkan dan menurunkan status ideal arahat yang ada pada masa awal baru muncul dengan datangnya sad-dharmmapundarika “teratai ajaran kebenaran. Perkembangan konsepsi Buddha mulai dari konsepsi bodhisattva mencapai titik akhirnya pada literatur prajnaparamita. Istilah prajnaparamitha berarti ‘ kesempurnaan  kebijaksanaan’ dan literatur ini dikatakan demikin karena mengkhususkan diri dalam membentangkan keadaan sebenarya dari pengetahuan tertinggi atau penerangan sempurna (samyaksambodhi. Pengetahuaan yang tak mendualah (advaya) yang terbebas dari diskriminasi (nirvikalpa). Ia yang menyadari ini akan menjadi seseorang yang berkesadaran. Buddha merupakan perwujudan dari pengetahuaan ini. Tubuh yang di gunakan adalah tubuh dharma (dharma-kaya), tubuh yang sebenarnya di bandingkan dengan nirmana-kaya yang sekedar bayangan atau tubuh transformasi. Ia identik dengan realitas terakhir, yang demikian. Ia tak terucapkan dan di luar jangkauan analisis logika.
Bodhisatva menurut definisi Mahayana adalah orang yang menunda pencapaian nirvana agar dapat berlanjut terus dalam samsara dengan harapan dapat menolong semua mahkluk menyeberangi arus kehidupan. Sementara dipihak lain Bodhisatva haruslah seorang yang memiliki pengertian atau kebijaksanaan mempunyai minat atau motivasi. Altruisme atau pelayanaan tanpa mementingkan diri sendiri merupakan ideal yang mempesonakan. Pengorbanan kebahagiaan orang untuk kesejahteraan yang lainnya secara umum dipandang sebagai ideal yang mulia pada setiap masyarakat. Hal ini memperlihatkan bagaimana kaum mahayana, dengan menolak ideal Arahat sebagai sesuatu yang rendah dan kurang bermutu dan dengan menyajikan suatu ideal yang lebih luhur dari pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri. Menurut Hui-Neng ”jika anda berharap untuk mengubah orang yang dungu, anda harus memiliki kebijaksanaan

  1. TRANSENDENTALISME MADYAMIKA
Dalam transendendentalisme madyamika dijelaskan bahwa sang buddha maupun nagarjuna menerima realitas tertinggi di luar jangkauan indra biasa, sesuat yang absolut yang tidak terungkapkan dengan konsep. Teori kausal seperti sebab-akibat-sendiri  dan sebab-akibat-eksternal tidak akan berhasil menerangkan kenyataan kenyatan yang empirik dan khususnya terhadap yang diluar jangkauan manusia
Kausalitas menurut Nagarjuna adalah relativitas ini adalah sinonim kekosongan (sunyata) menurutnya; ”setiap dharma adalah relatif. Karenannya setiap dharma juga kosong. Tak ada dharma yang relatif, karenanya tak ada dharma yang tak kosong.Jika ada dharma yang tak kosong, ia tidak dapat terjadi secara bersyarat. Oleh karenanya, jika seseorang menerima ketak-kosongan (asunyata), orang itu juga menerima ketak-relatifan, dan sebagai akaibatnyaorang itu harus menerima kemunculan dan kehancuran, ia tak dapat menerima Empat Kebenaran Mulia”.
Untuk nagarjuna Substansi merupakan prinsip bersifat metafisika seperti diri untuk buddha atau jiwa untuk upanisad. Candrakirti yang menelaah lebih lanjut kritikan nagarjuna, menunjukkan bahwa jika substansi atau sifat bawaan dari akibat dapat ditemukan pada sebab  produksi akan menjadi tak berati  karena ia kemudian hanya menjadi sekedar duplikasi sendiri bukan kemunculan suatu faktor yang lebih mencolok yang belum pernah ada sebelumnya.
 Jadi dalam transendentalisme madyamika menjelaskan tentang suatu keadaan yang absolute. Sesuatu yang tidak dapat di jangkau oleh indra atau pemikiran manusia sendiri. Tidak dapat di personifikasikan. Seperti perolehan dalam pencapaian kebuddhan tentang pencapaian realitas terakhir yang tak terumuskan atau tak terungkapkan melainkan mengajukan suatu tesis  sendiri menurut istilah-istilah yang tepat dan sesuai.

  1. IDEALISME YOGACARA
Latihan Yoga atau dinamakan Yogacara  yaitu pemahaman yang tertinggi yang mana hanyalah kesadaran yang tak membedakan tanpa dikotomi subyek-obyek.
Dalam Idealisme yogacara dijelaskan bahwa pengikut dari aliran ini adalah kaum Sauntratika. Kaum Sauntratika memiliki pendapat mengenai suatu obyek yang tidak dapat kontak dengan alat indra secara langsung karena obyek itu tanpa durasi. Sumbangan pemikiran juga disokong oleh kaum madyamika bahwa bahwa kaum yogacara tidak menunjuk realitas apaun bahwa mereka adalah kosong dari isi atau mereka tidak mengungkap keadaan sebenarnya dari fenomena.kaum madyamika memiliki pendapat bahwa pikiran atau kesadaran adalah nyata. Karena yang absolute dipandang sebagai suatu yang tank mendua (advaya) dan non konseptual dan yang sebagai suatu pengalaman duniawi yaitu dengan diselami pada tingkat kegiuran yoga tertinggi yang hanyalah kesadaran yang tidak membedakan tanpa sutu dikotomi subyek-obyek.
Vasubandhu berpendapat mengenai konsep Tiga dunia yang merupakan gagasan belaka, menurutnya akal, pikiran, kesadaran dan gagasan  adalah sininim. Obyek eksternal hanyalah penampakan, seperti persepsi akan rambut diudara dan persepsi ganda dari orang yang matanya terkena penyakit.  Suatu obyek kelihatan meliput atau menduduki suatu ruangan tertentu dan jika ia hanya buatan pikiran ia akan terlihat berbeda, tidak hanya ditempat tertentu tetapi juga dimana tempat kemana pikiran ditujukan, suatu obyek ketika seseorang memperhatikan tidak ketika orang melihatnya . jika suatu obyek merupakan buatan ikiran maka penetapan menurut waktu seperti itu akan jmenjadi keterangan yang tidak memuaskan dan suatu kesadaran yang diterima tidak dapat diterangkan bila seseorang menyangkal akan suatu keadaan keberadaan yang nyata dari obyek eksternal . jika suatu obyek hanya merupakan cerminan mental ,maka kegiatan yang membuahkan (krtya-krya) yang disebabkan obyek tidak dapat diterangkan.
Contoh seperti seseorang yang lapar dan ia akan makan , seseorang merasakan lapar dan membayangkan ia ingin kenyang dan ingin makan. Pikiran berproses dan seseorang memikirkan maka rasa lapar itu akan semakin bertambahkarena pikiran berproses pada obyek lapar dan membayangkan makanan. Rasa lapar akan menjadi tidak lapar apabila kita bertindak untuk makan mengambil makanan dan tidak hanya menghayal. Untuk mengatasi rasa lapar tidak hanya dengan langsung mengambil makanan tetapi kita juga dapat mengalihkan pikiran. Rasa lapar dan semakin lapar juga terpengaruh karena kondisi pikiran kita yang membayangkan rasa lapar itu.
Sebagai contoh lain ketika seseorang melihat bendera yang berkibar, saat itu orang memandang antara satu dengan yang lain berbeda ada yang menjawab karena angin, ada yang menjawab karena adanya bendera berkibar sebenarnya itu karena pikiran kita saja yang merespons atas apa yang kita lihat sesuai dengan indra yang melihat suatu obyek sehingga munculah suatu pemikiran. Ketika orang tidak memperhatikan akan kibaran bendera maka tidak akan adanya suatu jawaban tentang bagaimana bendra itu bergerak.
Dalam sudut kegiuran yoga tertinggi terdapat suatu bentuk kesadaran murni yang membedakan , pengalaman indra yang dicirikan oleh perbedaan subyek obyek yang Nampak sebagi khayalan  seperti mimpi yang merupakan suatu khayalan kesadaran yang telah terbangkit. Jadi segala sesuatu yang ada yang didapat atau di cerap oleh indra akan menghasilkan suatu persepsi atau suatu hal yang berkondisi sesuati dengan suatu kesadaran kerja proses berfikir dalam diri manusia




  1. LAMPIRAN I
METAFISIKA DAN SANG BUDDHA
Keseragaman kausal dan kesinambungan kepribadian manusia yang dipandang metafisik dalam filsafat modern tidak dipandang demikian dalam buddhisme awal.
Ada beberapa pertanyaan yang sering sang Buddha tidak menjawabnya baik mengenai pertanyaan keluasan alam semesta , keadaan sebenarnya dari jiwa atau diri dan keadaan dari arahat setelah mati yang bersifat metafisik. Pandangan metafisik yang dijelaskan dalam bab ini adalah bagaiman mencari tau yang jauh dari jangkauwan kemampuan kita dari hasil prediksi dari tiap para ahli atau fisuf. Banyak para ahli yang mencoba untuk menyedikan jawaban-jawaban atas pertanyaan metafisika yang belun tau jawaban sebenarnya.
 Sang Buddha memandang bahwa pertanyaan-pertanyan itu adalah pertanyaan yang menyesatkan karena akan mengacu pada ke konsep ke akuan, segala sesuatu memiliki proses dan prose situ serta pengalaman yang akan memberikan jawaban. Seseorang memiliki persepsi yang sendiri-sendiri sesuai sudut pandang dan pengalaman yang ia peroleh. Tiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda memiliki penalaran serta pengalaman yang berbeda-beda. Tidak seperti dalam metafisika yang kita anut berdasarkan pandangan dan pengalaman orang lain.
 Metafisika hanya memandang berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh para ahli yang menyatakan hasil dari beberapa pertanyaan yang nantinya akan dijadikan sebuah teori yang berasal dari jawaban ekperimen pengalaman orang lai yang bersifat prediksi atau belum pasti. Dalam ajaran sang Buddha berdasarkan bacaan sang Buddha tidak memandang semua itu sebagi sesuatu yang hanya di pandang berdasarkan tafsiran tetapi suatu kenyataan yang didapat kan sendiri berdasarkan hasil dari sebuah realita yang dialami sesuai dengan pengalaman yang didapatkan sendiri.
  1. RENUNGAN TENTANG HUBUNGAN ANTARA BUDDHISME AWAL DAN ZEN
Buddhisme Zen berbeda dari buddhisme awal dalam kaitanya dengan pertama tetapi bersesuaian dengannya dalam kaitanya dengan yang belakangan.
Dalam Zen, yang dimana Zen adalah Ch’an dalam bahasa mandarin yang berarti Dhyana atau meditasi. Ajaran Zen sangat popular di tiongkok. Zen lebih terpusat pada praktek. Segala sesuatu telah dilakukan dibuktikan dengan praktek. Bab ini menjelaskan mengenai Zen yang sering percaya adanya suatu penjelasan pada kitab-kitab dan menolaknya. Ajaran zen memiliki suatu pengertian prinsip yaitu tidak tergantng kepada kata-kata surat, menunjukan langsung kepada batin manusia, melihat keadaan diri sendiri sebenarnya, dan pencapaian kebuddhaan.
 Dari prinsip yang dianut dalam zen mereka lebih menekankan pada suatu kenyataan yang dialami berdasarkan atas pembuktian pengalaman mereka sendiri. Mereka melihat kedalam dalam diri mereka sendiri dan mereka ingin membuktikan suatu kenyataan itu sendiri berdasarkan pecapaian yang mereka lakukan sendiri. Mereka tidak membutuhkan teori yang hanya teori belaka maka dari itu Zen merupakan suatu aliran yang istimewa dengan menjalankan atau membenarkan segala sesuatu sesuai dengan kenyataan pengalaman sendiri.
Dalam buddhisme awal sang Buddha memiliki pendapat yang terdapat pada angutara nikaya  dengan melambangkan empat tipe individu dan membandingkan mereka dengan tipe-tipe awan hujan.empat perumpamaan itu adalah sebagai berikut:
1.      Seorang yang membaca (Bhasita) tetapi tidak melatih diri (no katta) adalah seperti awan tampa hujanyang mengguntur (gajjita) tetapi tidak mencurahkan hujan  (no vasita)
2.      Seorang yang melatih diri (katta) tetapi tidak membaca (bhasita )adalah seperti awan tanpa hujan yang mencurahkan hujan (vassita) tetapi tidak menguntur  (no gajjita).
3.      Seorang yang membaca atau pu melatih diri (n’eva bhasitha no katta) adalah seperti awan hujan yang tidak menguntur ataupun mencurahkan hujan (na eva gajjita no vassita)
4.      Seorang yang membaca maupun melatih diri (bhasita ca katta ca) adalah seperti awan hujan yang mengguntur dan mencurahkan hujan (gajjita ca vassita ca)
 Sang Buddha mengajak seseorang tidak hanya mengerti akan suatu teori saja melainkan juga praktek. Praktek tetapi menggunakan metode yang akan menimbulkan penderitaan seperti waktu sang Buddha akan mencapai suatu penerangan beliau menyiksa diri secara ekstrim meditasi itu tidak akan mendapatkan suatu pencerahan kebuddhaan tetapi semua itu perlu juga danya suatu teori yang akan menuntun dalam suatu pembenaran, dan  apabila orang hanya memandang sebuah teri atau praktek seseorang tidak akan mendapatkan apaun karena tidak semua pengalaman atau persepsi dari seseorang itu sama.
Jadi pada masa Buddha awal adalah sebuah gambaran dan seiring dengan perkembangan jaman maka disesuaian dan sebuah pengalaman atau kenyatan tidak hanya berdasarkan teori atau praktek dari orang lain melainkan diri sendiri agar mendapatkan suatu kebenaran yang akan menganggakt suatu hasil yang realistis.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Filsafat adalah pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat tentang segala yang ada, sebab , asal dan hukumnya atau teori yang mendasari alam pikiran ataun suatu kegiatan atau ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistimologi sering disebut dengan falsafah.
Gambaran lengkap dari buddhisme awal di bentuk dari sutta-sutta, sehingga muncul dua tradisi utama yaitu Hinayana dan Mahayana. Analisis doktrin Buddha awal secara sendiri-sendiri tanpa menggunakan perspektif hinayana ataupun Mahayana. Dalam buddhisme belakangan mengenai doktrin-doktrin yang dikatakan oleh Nagarjuna atau Vasubandhu atau Buddhagosa. Hasilnya adalah penolakan absolutisme dan Transendentalisme seperti bentuk yang dikenali oleh kaum Hinayana ataupun kaum Mahayana.

B.     Saran
Semoga makalah ini dapat membantu dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Dan kiranya pengetahuan filsafat tentang pemikiran logis dapat tercerap dalam setiap indifidu sebagai pengetahuan dan penuntun dalam kehidupan yang kita hadapi.





DAFTAR PUSTAKA

Kalupahana. David J. 1986. Filsafat Buddha. Jakarta: Erlangga



PENGEMBANGAN KESADARAN LINGKUNGAN DENGAN PENDEKATAN AGAMA BUDDHA[1] Oleh: Nyanasuryanadi



PENGEMBANGAN KESADARAN LINGKUNGAN DENGAN
PENDEKATAN AGAMA BUDDHA[1]
Oleh: Nyanasuryanadi

A. Pendahuluan
Perlindungan lingkungan adalah salah satu dari permasalahan mendesak yang dihadapi umat manusia hingga saat ini. Semua ilmuwan, ahli ekonomi, ahli filsafat, peneliti (melalui surat kabar, televisi, radio, dan lain-lain) menunjukkan tanda-tanda serius dampak zat beracun yang kurang baik atas lingkungan hidup manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Ironisnya perilaku demikian belum menumbuhkan kesadaran bagi manusia untuk memahami pentingnya menjaga kelestarian lingkungan secara utuh. Resiko yang mengancam lingkungan merupakan pelajaran yang lengkap dan berharga bagi kehidupan manusia, sebagai upaya untuk mencegah atau meminimalkan polusi, pada skala lokal maupun nasional.
Permasalahan lingkungan hidup merupakan permasalahan komplek, yang dalam penanggulangannya diperlukan keseriusan dan partisipasi dari seluruh unsur-unsur yang terkait di dalamnya. Mencermati kondisi demikian diperlukan adanya suatu pola pengaturan peranan yang tepat dan proporsional antara unsur-unsur pelaku kebijakan lingkungan hidup, yakni antara unsur pemerintah, pengusaha, tokoh agama, dan masyarakat. Selain daripada itu peran serta para ilmuwan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan riil dalam masalah lingkungan.
Bagaimana kesesuaian antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, Buddha mengumpamakan peningkatan kesejahteraan sebagai jalannya kereta beroda empat. Dengan memiliki empat roda kemakmuran, manusia (dan dewa) akan hidup makmur atau sukses. Roda pertama, tempat tinggal yang sesuai, menyangkut lingkungan fisik dan non-fisik dalam arti yang seluas-luasnya; Kedua, pergaulan dengan orang-orang yang mulia; Ketiga, mengarahkan atau menyesuaikan dan menempatkan diri secara benar; Keempat, adanya timbunan jasa kebajikan (A.II.31).
Menyadari betapa pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan hidup merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Pada artikel ini dipaparkan bagaimana mengembangkan kesadaran terhadap lingkungan hidup dengan pendekatan agama Buddha?
B. Wawasan Buddhis Terhadap Kesatuan Lingkungan
Pandangan Buddhis mengenai lingkungan tercermin dari ayat suci ini: "bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa" (Dhp. 49). Dalam ekosistem, lebah tidak hanya mengambil keuntungan dari bunga, tetapi juga sekaligus membayarnya dengan membantu penyerbukan. Perilaku lebah memberi inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan sumber daya alam yang terbatas (Wijaya-Mukti, 2004:418).
Membedakan sesuatu yang hidup dari benda mati, tetapi menurut prinsip saling bergantungan pada kehidupan mengandung unsur-unsur yang tidak hidup. Apabila meneliti ke dalam diri sendiri, akan melihat bahwa manusia memerlukan dan memiliki mineral atau unsur anorganik lainnya. Ujar Thich Nhat Hanh (Wijaya-Mukti, 2004:419), jangan berpikir benda-benda ini tidak hidup. Atom selalu bergerak, elektron pun bergerak. Manusia adalah bagian integral dari keseluruhan masyarakat dan alam semesta. Muncul dari alam, dipelihara oleh alam, dan kembali ke alam. Thich mengatakan dalam kehidupan lampau adalah tumbuh-tumbuhan, dan bahkan dalam kehidupan ini terus menjadi pohon-pohon. Tanpa pohon-pohon, tidak dapat punya orang, oleh karena itu, pohon-pohon dan orang-orang berada dalam tali-temali. Manusia bagaikan pohon dan udara, belukar dan awan. Bila pepohonan tidak dapat hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Ada kontinuitas dari dunia dalam dan dunia luar, dan dunia adalah "diri-luas" (large-self). Manusia harus menjadi "diri-luas" tersebut dan peduli terhadapnya. Memandang sehelai kertas, melihat hal-hal lain pula, awan, hutan, penebang kayu. Saya ada, maka itu Anda ada. Anda ada, maka itu saya ada. Manusia saling tali-temali, itulah tatanan antar makhluk.
 Agganna-sutta meriwayatkan hubungan timbal-balik antara perilaku manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (sali) yang pertama dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi dipetik pada sore hari, berbuah kembali keesokan harinya. Dipetik pagi-pagi, berbutir masak kembali di sore hari. Semula manu­sia mengumpulkan padi secukupnya untuk sekali makan. Kemudian timbul dalam pikiran manusia, bukankah lebih baik mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang dan makan malam sekaligus? Pikiran berikutnya yang timbul mudah diterka - lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari, dan seterusnya. Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka, akibat keserakahannya, manusia harus menanam dan menunggu cukup lama hingga padi yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun. Lalu butir-hutir padi pun berkulit sekam (D. III. 88-90).
Sikap yang terpusat pada diri manusia dan anggapan bahwa dunia ini disediakan untuknya saja tidak membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Individualisme dan kapitalisme ataupun lawannya sosialisme dan komunisme membayar kemajuan duniawi dengan permasalahan lingkungan. Lingkungan hidup menjadi tidak terpelihara rusak dan justru mengancam kehidupan manusia sendiri. Hal itu terjadi karena kehidupan non-materi atau kemajuan rohani tidak memperoleh tempat yang wajar. Falsafah hidup Buddhis menghendaki keseimbangan antara pemenuhan kepentingan materi dan spiritual. Keseimbangan hidup semacam itu, menurut Cakkavatti-sihanada-sutta, sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat cukup makan (D.Ill.75).
Buddha mendekati lingkungan alam dan hubungan manusia yang alami dilukiskan dalam kitab suci berguna untuk menciptakan suatu atmosfir menyenangkan dalam kehidupan di atas bumi, Buddhisme menunjukkan cara pemecahan masalah krisis lingkungan. Sehubungan dengan pengamatan ekologis Buddhis memperkuat sikap ramah kepada alam dan meneliti hubungan tumbuh-tumbuhan, orang, dan binatang satu sama lain dari sudut persahabatan dan keselarasan.
Tiga peristiwa utama menyangkut kehidupan Buddha, kelahiran, penerangan, dan kematian, mengambil tempat di bawah pohon terbuka. Buddha menasehatkan kepada biarawan untuk mencari-cari tempat yang luas di tengah hutan dan kaki pohon untuk praktek meditasi. Udara menyenangkan, tenang dalam suatu lingkungan alami dipertimbangkan sebagai sarana untuk pertumbuhan spiritual.
Perhatian Buddha untuk hutan dan pohon digarisbawahi dalam Vanaropa Sutta (S.I.32) di mana konon penanaman kebun (aramaropa) dan hutan (vanaropa) adalah tindakan yang berjasa, menganugerahkan jasa siang malam sebagai penolong. Dengan jelas Buddha menimbang rasa bagi aspek hutan dan pohon yang bermanfaat. 'Vana' atau hutan dalam Dhammapada digunakan oleh Buddha sebagai perumpamaan kata-kata penuh arti diberlakukan bagi konteks dunia saat ini: tebanglah hutan (nafsu) sampai habis, jangan tinggalkan satu pohon pun. Dari hutan itulah tumbuh rasa takut (Dhp.283).
Bagaimanapun, menanam hutan (vanaropa) berkait dengan konsep menanam hutan, dipahami oleh ahli ilmu lingkungan hidup, dalam rangka menyelamatkan dunia dari penebangan hutan dan desertifikasi sebagai akibatnya. Biarawan dilarang dalam vinaya untuk menebang pohon, kepercayaan populer yang percaya bahwa dalam pohon sedang hidup organisma. Buddha, meletakkan aturan yang menjelaskan, "kenapa orang bodoh mengurangi dan menyebabkan yang lain memotong pohon. Tentu saja, orang percaya bahwa pohon hidup."
 Para bhikkhu tidak memiliki keterikatan pada tempat tinggalnya. Me­reka menumpang sementara di suatu tempat, tetapi menaruh peduli dan merasa harus bertanggungjawab terhadap tempatnya menum­pang. Seperti rombongan bhikkhu yang singgah di lereng gunung Isigili, membongkar pondok-pondoknya sendiri sebelum melanjutkan perjalanan. Pondok-pondok itu semula didirikan untuk melewati musim hujan. Wanita pencari kayu memanfaatkan kayu-kayu bekas bongkaran pondok itu. Bhikkhu Dhaniya masih tinggal di sana, dan karena pondoknya ikut terbongkar oleh pencari kayu, membangun pondok dari tanah liat, memakai teknik pembuatan jambangan keramik yang pemah dipelajari dari ayahnya dulu. Pondok tanah liat itu berwama merah, karena berasal dari panggangan sejenis serangga. Buddha mencela perbuatan Dhaniya. Seorang petapa harus melatih dirinya untuk menghargai kehidupan dalam bentuk sekecil apa pun (Vin.III. 41-42).
Dalam Vinaya Buddha menetapkan bahwa seorang bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Ajaran Buddha mengenai sikap menghormati dan tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan. Buddha Gotama dan siswa-Nya tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak akan merusak tumbuh-tumbuhan. (D.I.5). Di musim hujan (Vassa) para bhikkhu melakukan "rakatan dan tidak melakukan perjalanan menghindari kemungkinan dan menginjak tunas-tunas tanaman atau mengganggu kehidupan "binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vin.I.137).
Peradaban menghendaki hidup ini memanfaatkan sumber alam yang tersedia. Namun karena hidup manusia bukan benalu, maka ia seharusnya berusaha memulihkan sumber alam yang telah dipakainya. Schumacher mengatakan setiap pengikut Buddha wajib menanam sebatang pohon setiap beberapa tahun dan menjaganya sampai sungguh-sungguh hidup. Orang yang pandai dan bijaksana akan berusaha meningkatkan kesejahteraan atau mencapai sukses yang sebesar-besamya hanya dengan menggunakan sumber daya yang mi­nimal, seperti ia meniupkan napasnya membuat api kecil menjadi besar(Ja.I.123).
Sumber daya alam yang penting adalah hutan. Hutan dengan segala isinya merupakan sumber kehidupan. Hutan diperlukan karena menghasilkan bahan baku bagi industri, tetapi juga merupakan paru-paru dunia. Lebih dari itu, hutan mendapat tempat yang khusus dalam agama Buddha. Hutan adalah tempat yang menyenangkan, baik untuk melakukan latihan meditasi. Di sana para petapa yang telah bebas dari nafsu dan menyukai kcsunyian akan menyepi dan merasa gembira (Dhp 99). Manusia sangat berkepentingan untuk selalu menjaga kelestarian hutan.  
C. Pendekatan Buddha Terhadap Masalah Lingkungan
Bidang permasalahan lingkungan, seperti masalah global, penghabisan lapisan ozon, penebangan hutan, dan pengurangan keanekaragaman makhluk. Permasalahannya disebabkan oleh pengurangan keanekaragaman makhluk sebagai bagian dari tantangan terbesar yang dihadapi manusia saat ini. Dampak dari pengurangan aneka ragam makhluk mempengaruhi ekosistem, dan kehidupan manusia.
Tujuan terakhir praktek Buddhisme adalah untuk mencapai Ke-Buddhaan, yang mana  dalam terminologi modern berarti untuk menjadi apa yang ideal  baik manusia sebagai Buddha. Praktek dalam Buddhisme ada enam macam praktek untuk mencapai ke-Buddhaan (sad paramita). Enam macam praktek terdiri dari memberi dana (dana-paramita), kesempurnaan moral (sila-paramita), kesabaran (ksanti-paramita), tekun/semangat (virya-paramita), praktek meditasi (dhyana-paramita), dan kebijaksanaan (prajna-paramita).
Praktek Buddhisme untuk pemecahan permasalahan lingkungan adalah langsung sesuai dengan harapan Buddhisme yang mengakibatkan pemindahan rasa sakit dari semua mahluk hidup. Alat-Alat yang dikembangkan sebagai rencana kegiatan dan norma-norma etis Buddha didasarkan pada praktek, tidak hanya memimpin ke arah memecahkan permasalahan lingkungan tetapi juga secara bersamaan memenuhi tujuan Buddhisme.
Permasalahan-permasalahan seperti penebangan hutan dan komersialisasi, pengembangan daratan dan penggunaan bahan kimia, managemen perlindungan lingkungan, binatang yang dipergunakan untuk eksperimen dan makanan. Keadaan ini memerlukan solusi dan pemecahan yang serious dari berbagai sudut pandang.
Pencapaian kebijaksanaan (prajna-paramita) menjadi bagian dari enam macam praktek dimana Bodhisattva mencapai penerangan (sad paramita). Konsep ini mula-mula menunjuk pencapaian kebijaksanaan absolut (prajna-paramita). Maksudnya menguji gagasan kebijaksanaan dalam hubungan dengan dua konsep pokok Buddha sebagai cara untuk memecahkan permasalahan lingkungan. Yaitu hukum sebab akibat yang saling bergantungan (pratityasamutpada) dan jalan tengah.
Doktrin hukum sebab akibat mengajarkan bahwa suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagai gantinya ditandai adanya saling behubungan dan saling ketergantungan pada semua penomena. Konsep pokok dari semua gejala ditandai adanya hubungan ruang (ontologi) dan waktu (formasi). Lingkungan ekologis saat ini adalah ruang dan waktu. Tingkah laku manusia yang merusak hubungan ekosistem, dipertimbangkan sebagai keadaan sakit apabila dihubungkan dengan konsep hukum sebab-akibat, yaitu: mengganggu hubungan historis dan ekologis, dengan demikian mengikis kelangsungan hidup itu sendiri.
D. Manajemen Lingkungan dalam Buddhis
Mengenai manajemen lingkungan di dalam Buddhisme, suatu konsep basis dasar diuraikan dengan  menekankan empat aspek yang berbeda:
1. Buddhisme menerima kenyataan yang berhubungan dengan hukum alam sebagai basis antara manusia dan lingkungan; dengan konsep yang disebut "tilakkhana" atau " tiga karakteristik" (segala sesuatu mengalami perubahan atau tidak abadi, sesuatu yang berkondisi mengalami bentuk penderitaan/tidak memuaskan, dan segalanya tanpa inti yang kekal dan abadi).
2. Konsep pendekatan holistik, berdasar pada pola hubungan yang erat antara lingkungan dan manusia, dengan demikian adanya saling ketergantungan, yang menjadi dasar pertimbangan dalam usaha memecahkan permasalahan lingkungan.
3. Suatu konsep lingkungan berdasar pada "empat kebenaran kulia", yang mana masalah lingkungan yang akan dipecahkan sesuai  dengan aturan yang sistematis:
a. Investigasi masalah  lingkungan.
b. Pemahaman penyebab masalah dan penyebab atau kunci solusinya.
c. Merealisir sasaran dengan pemecahan masalah.
d. Suatu pemahaman benar terhadap cara pemecahan masalah untuk dikembangkan dan diikuti.
4. Konsep "jalan tengah" ke arah manajemen lingkungan, melalui pelatihan hidup manusia pada atas tiga aspek inti:
a. pengembangan dan pelatihan etika/moral lingkungan.
b. pengembangan dan pelatihan suara hati terhadap lingkungan.
c. pengembangan dan pelatihan terhadap pemahaman dan kebijaksanaan lingkungan, seperti halnya pengertian yang mendalam terhadap kenyataan lingkungan.
Ada lima cara  manajemen lingkungan dalam Buddhisme:
1. Menerima kenyataan alam dan menerapkannya sebagai basis dan tujuan manajemen lingkungan.
2. Mencoba untuk mempersatukan pengembangan manusia dan manajemen lingkungan dengan menggunakan pendekatan holistik dengan mempertimbangkan semua faktor-faktor manajemen yang terkait.
3. Mencoba untuk bebaskan hidup manusia dari berbagai pengotoran, seperti ketidak-tahuan, kasih sayang, dan keinginan serta bertindak mempromosikan lingkungan dengan praktek ajaran Buddha, keduanya adalah ajaran dan disiplin.
4. Suatu sistem manajemen lingkungan berdasar pada tiga langkah-langkah:
a. Mempelajari sekitar permasalahan manajemen  lingkungan
b. Mengembangkan sistem manajemen lingkungan.
c. Menemukan alat-alat untuk mengendalikan dan memeriksa manajemen lingkungan.
5. Manajemen lingkungan dengan memasukan kehidupan biarawan dan petunjuk menurut aturannya sehingga menemukan keharmonisan dengan alam.
Ada tiga ukuran untuk diambil mengenai manajemen lingkungan:
a. Mengembangkan pemahaman dan kebijaksanaan untuk kebenaran yang menguasai hubungan antara lingkungan dan manusia.
b. Menanami lingkungan dengan suara hati dan pikiran.
c. Menanami etika/moral mengenai lingkungan.
 E. Mengembangkan Kesadaran Terhadap Lingkungan
Kesadaran dalam melindungi kehidupan dan lingkungan hidup telah dihasilkan sampai saat ini. Buddhisme telah memperkenalkannya sebagai salah satu hukum dasar utama sekitar 25 abad yang lalu untuk para pengikutnya. Buddhisme sesungguhnya menghadirkan jalan cinta kasih. Buddha menunjukkan rasa cinta kasihnya secara lengkap seperti yang terlihat ketika cinta kasih melindungi semua makhluk. Buddha mengajarkan bahwa bagi yang mengikuti ajaran-Nya perlu mempraktikkan cinta kasih yang tulus, tidak merugikan semua mahluk, tidak hanya untuk melindungi umat manusia, tetapi juga untuk melindungi tumbuh-tumbuhan dan binatang. Buddha dengan kebijaksanaan yang sempurna,melihat semua mahluk di alam semesta adalah sama secara alami, semua binatang, dan manusia hidup bekerja sama, satu sama lain menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Lingkungan eksternal benar-benar terkotori oleh karena itu lingkungan internal benar          dirusak. Ketamakan telah mendorong umat manusia untuk mencukupi permintaan yang berlebihan, dan mengambilnya dalam persaingan yang tak ada akhirnya, mendorong ke arah perusakan diri dan lingkungan. Membandingkan pikiran yang tamak dan tak sehat dengan semangat hidup sederhana dan dengan puas berlatih seperti yang diajarkan Buddha.
Hidup dalam keselarasan bukan berarti penghapusan kebenaran dan pengetahuan, tetapi untuk tinggal dalam keselarasan dengan semua mahluk dan alam. Pada dasarnya bagi yang memahami pengajaran Buddha akan membatasi keakuan, untuk tinggal selaras dengan alam, tanpa merugikan lingkungan. Kemudian akan melihat tingkat mana yang sebaiknya diteliti dan dilindungi untuk digunakan pada masa datang oleh generasi berikutnya dan makhluk lain. Keserakhan yang berlebihan untuk memiliki segalanya bagi dirinya, atau untuk kelompok sendiri, membuat buta. Disiapkan untuk berkelahi, berperang, menyebabkan kematian, penyakit, kelaparan, membinasakan semua jenis makhluk hidup, secara berangsur-angsur memperburuk lingkungan hidup. Mencoba untuk memaksimalkan keuntungan, tanpa terkait dengan dampak eksplorasi negatif yang mendorong kearah penghabisan sumber alam, melepaskan zat beracun ke udara, air, bumi, mendorong ke arah polusi lingkungan, membinasakan keuntungan ekologis.
Banyak vihara hutan yang didirikan di pegunungan menunjukkan penyesuaian diri yang harmonis dengan alam,. Hidup tenang dalam hutan membantu praktek ajaran Buddhis untuk meningkatkan batin, dan pada waktu yang sama, juga melindungi binatang tinggal di daerah itu. Pengikut Buddha dengan pikiran yang bersikap toleran dan penuh kasih menyesuaikan diri dengan tumbuh-tumbuhan yang alami, binatang buas di hutan, dengan keselarasan dan berhubungan timbal balik. Orang menggunakan oksigen yang sebagian besar dihasilkan oleh pohon, dan sebagai imbalannya, orang memelihara pohon itu. Binatang buas mungkin datang untuk makan tanaman panenan yang ditanam oleh vihara tanpa memikirkan resiko untuk dibunuh. Buddhisme hidup harmonis dengan sepenuhnya, berbeda dari yang kompetitif, menentang kehidupan dan memberantas alam.
Keyakinan yang seksama, secara teknis nampak paham lingkungan merupakan suatu ungkapan efektif pada pandangan hidup Buddha. Mengundang untuk mempertimbangkan lima hubungan antara praktek dan kesehatan hidup secara umum. Hubungan dengan kesehatan, konsentrasi, etika, dan kebijaksanaan.
Hubungan dengan kesehatan: praktek adalah jalan meningkatkan kesehatan pribadi, dan menghubungkan kesehatan pribadi lingkungan. Praktek Buddha mengarahkan pikiran; itu sesungguhnya sebagai bentuk kesehatan mental. Kemudian kesehatan mental berpengaruh terhadap kesehatan phisik. Sedanglah melakukan kesehatan seseorang pribadi mempimpin tak bisa diacuhkan untuk suatu perhatian dengan kesehatan lingkungan. Bagaimana kesehatan makanan yang  kamu makan, air yang kamu minum, atau udara yang kamu hirup? sebagian besar jawaban, tergantung pada bagaimana lingkungan yang sehat. Adalah bukan sukar untuk melihat mengapa orang menjadi sangat peka terhadap kerusakan lingkungan: perbedaan antara dirimu dan lingkungan seperti menyesatkan sebagai perbedaan antara mengurus pikiran dan badan.
Hubungan dengan konsentrasi, belajar dari diri sendiri, dapat membersihkan pikiran; belajar dari diri sendiri, dapat membantu makhluk lain. Biarawan Zen berkata praktek adalah "tidak ada yang khusus"? tidak ada tambahan" Tujuan belajar Buddhisme bukan untuk belajar Buddhisme, tetapi untuk belajar diri sendiri," menurut Shunryu Suzuki, Master Zen dari Jepang. Pertanyaan yang sama menjadi dasar bekerja pada lingkungan, sebab banyak permasalahan lingkungan sedikitnya dapat dikurangi ke berbagai pilihan pribadi.
Kesusilaan adalah penting untuk praktek, dan kesusilaan menuntut suatu perhatian untuk  kesehatan makhluk lain. Buddha menjelaskan delapan usur jalan utama yaitu pandangan, pikiran, ucapan, perbuatan, pencaharian, usaha,  perhatian, dan konsentrasi yang benar.
Kebijaksanaan dapat menunjukkan hidup dan hidup dapat menunjukkan kebijaksanaan. Latihan ini  adalah salah satu dari tugas ekologi, studi bagaimana ekosistem berfungsi. Pemikiran lewat dari sini akan sungguh-sungguh menghasilkan kebijaksanaan, tetapi bukan jenis kebijaksanaan yang dicari dalam praktek Buddha. Ekologi, seperti umumnya ilmu pengetahuan lain, analitis, penerangan, pada sisi lain, cara terbaik diuraikan sebagai intuitif. Tetapi ilmu lingkungan, dengan memperhatikan hubungan antara hal-hal, yang dibangun semacam resonansi dari segi pandangan Buddha.
F. Penutup
Pengembangan kesadaran terhadap  lingkungan hidup didasarkan pada sikap mental, sebagai rangkaian hubungan sebab akibat yang saling bergantungan secara utuh. Melalui pengembangan batin yang berdasarkan kebijaksanaan, perilaku moral (sila), konsentrasi, dan belas kasih. Menyadari betapa pentingnya keterkaitan antara  manusia dengan lingkungan secara luas, sehingga manusia tidak dapat hidup sendiri. Menjaga keseimbangan antara dunia kecil (diri manusia) dan dunia besar (lingkungan yang luas).

Kepustakaan:
.Gnanarama, Petagama. 1996.An Approach to Buddhist Social Philosophy. Singapore:Ti-Sarana Buddhist Association.
Swear, Donal K,. 1998. Buddhisme and Ecology: Challenge and Promise. Swarthmore College: Center for Respect of Life and Environment.
 Thich Tri Quang. 1996. Buddhisme and Environmental Protection. (Online), (http://www.saigon.com/~anson/index.htm, diakses 8 Mei 2004)
 Wijaya-Mukti, Krisnanda.2003. Wacana Buddha Dharma. Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan         
http://jurnalnadi.bravehost.com/kesadaran_lingkungan.htm