BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Buddhisme belakangan menceritakan
beberapa perkembangan sekolah-sekolah abhidharma dan Mahayana yang ditelusurui
samapai ke masa sang Buddha sendiri. Skolatisme merupakan sekolah awal yang
berkembang. Walaupun asalnya dapat ditelusuri sampai pada periode awal
,diperlukan beberapa waktu agar tradisi-tradisi ini dapat mengkristal pada
sekolah-sekolah yang utama. Namun komplikasi kitab Abhidharma pitaka dan
sutra-sutra Mahayana awal telah menyusul setelah finalisasi nikaya pali dan
Agama yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Mandarin.
Gambaran lengkap dari buddhisme awal di
bentuk dari sutta-sutta, sehingga muncul dua tradisi utama yaitu Hinayana dan
Mahayana. Analisis doktrin Buddha awal secara sendiri-sendiri tanpa menggunakan
perspektif hinayana ataupun Mahayana. Dalam buddhisme belakangan mengenai
doktrin-doktrin yang dikatakan oleh Nagarjuna atau Vasubandhu atau Buddhagosa.
Hasilnya adalah penolakan absolutisme dan Transendentalisme seperti bentuk yang
dikenali oleh kaum Hinayana ataupun kaum Mahayana.
Garis besara pada masa buddhisme
belakangan yang terjadi pada pemikiran kaum Buddha dikarenakan oleh konsep dasar filosofisnya yang sudah berkembanga baik sebelum Buddhisme
meninggalkan pantai dan batas india. Yang
dibahas bukanlah sekolah-sekolah belakangan ini melainkan aspek dari Buddhisme
zen, dimana zen merupakan suatu perkembangan di ciana yang lain dari pada yang
lain yang memiliki pandangan yang bersajak konsepsi yang sama sekali salah
tentang apa yang diajarkan Sang Buddha.
Dari masalah dan beberapa ulasan diatas
maka Penulis tertarik untuk membahas beberapa perkembangan dan doktrin-doktrin
masa Buddhisme belakangan.
BAB I I
PEMBAHASAN
- AWAL SKOLATISME
DAN MAHAYANA
Pertemuan tentang pengumpulan sutta
menandakan awal dari skolatisisme seratus tahun pertama setelah kematian Sang
Buddha barangkali menyaksikan pengumpulan dan pengkelasan seluruh
kumpulan-kumpulan sutta-sutta menjadi lima kelompok (nikaya), sedangkan
sebagian besar peraturan (vinaya), Masuk dalam kelompok tersendiri. Kegiatan
skolastik tidak berhenti sampai disini saja, melainkan penelaahan kumpulan suta
ini yang coraknya dicirikan oleh penggunaan kiasan. Anekdot, ilustrasi, dan
pengulangan yang terus menerus, ini dipakai pada saat ajaran-ajaran yang
dikuatirkan akan disalah tafsirkan, jadi dari sutra dan cirinya diatas
digunakan untuk mencegah adanya salah tafsir dari ajaran-ajaran Sang Buddha,
dalam ajaran ini ditemukan daftar ajaran yang penting yang diturunkan dari
mulut kemulut.
Peristiwa kedua dalam kematian agung
adalah ratapan para dewa dan manusia (termasuk ananda yang belum mencapai
kearahat). Manusia atau umat awam pada umumnya dikuasi oleh emosi-emosi
walaupun emosi cenderung mengaburkan pencerapan akan kebenaran dan seharusnya
dikendalikan untuk mencapai tahapan perkembangan spiritual yang lebih tinggi.
Namun emosi keagamaan dapat memberikan nuansa baru bagi kehidupan umat awam dan
mampu memperbaiki nasip spiritualnya. Sang Buddha menunjukan bahwa umat yang
memiliki keyakinan, para bikkhu dan bikkhuni, upasaka-upasika, yang mungkin
akan menjunjung keempat tempat yang mungkin akan menjunjung tingkat emosi ini.
Jadi kedua sikap ini yang yang memperlihatkan sikap siswa Sang Buddha yang
harus memiliki banyak keyakinan dan tidak memiliki emosi yang tinggi dan harus
memiliki emosi keagamaan yang tinggi untuk menjunjung keyakinan spiritual yang
tinggi dan memiliki nuansa yang baru, dan tidak lepas dari ajaran Sang Buddha
yang telah diajarkan beliau sebelum parinibana.
- SKOLATISME THERAVADA, SARVASTIVADHA,
DAN SAUNTRATIKA
Skolastisisme dalam buddhis ini timbul
seperti yang telah dijelaskan dalam bab delapan yaitu karena adanya kebutuhan
untuk mengajarkan ajaran-ajaran Sang Buddha dan tidak memberikan kesempatan
pada timbulnya perpecahan. Dari hal ini ada salah satu cara yang dipakai untuk
keperluan ini yaitu untuk mengajarkan ajaran-ajaran Sang Buddha seperti yang
terdapat dalam Sangiti-sutanta yang
tidak menimbulkan ketidak sepakatan. Dari hal ini metode yang digunakan Sang
Buddha yang sering digunakan telah dirubah yang semula menggunakan anekdot,
kiasan dan metafora yang semula gaya ini digunakan dengan gaya memutar,
langsung dan sekarang menggunakan istilah yang telah dipilih dan yang telah
mementingkan ketepatan yang merupakan ciri dari abiddharma.
Bab ini merupakan perbedaan awal antara
suta dan pembahasan skolatisisme, yaitu sebagai contoh sutta dipandang sebagai
ajaran-ajaran yang popular sedangkan abiddharma dipandang sebagai uraian
tentang realitas terahir dari hal inilah yang merupakan perbedaan yang lebih
mengacu kepada masalah gaya, tetapi yang berakibat terhadap perbedaan
menyangkut isi dari ajaran yang sesungguhnya.
Kaum sautrantiaka menerima
doktrin-doktrin tentang saat yang diketemukan dalam tiga sekolah., dan doktrin
ini tidak dapat diketemukan dalam tradisi Theravada-prabuddhagosa. Sebagai
akibat diterimanya teori saat para cendikiawan dihadapkan pada persoalan
filsafat yang menimbulkan perbedaan-perbedaa yang nyata yaitu mengenai masalah
pencerapan dan kausalitas, jadi kauma sauntratika setelah menerima
doktin-doktrin tentang saat menemukan suatu perbedaan mengenai pencerapan dan
kausalitas
Substansi ini dapat disimpulkan bahwa
semuanya adalah pencerapan mengenai enam landasan indra adalah tidak langsung
dan kaum sarvastivadin menjunjung suatu teori adalah obyek pencerapan suatu
agregat, sedangkan kaum sautrantika menuntut bahwa obyek luar tidak langsung juga dapat disebut sebagai teori
atom. Setelah menerangkan teori saat dan para cendikiawan mengalami kesulitan
maka timbulah konsepsi tentang substansi, kaum abiddharma menerangkan konsep
ini sebagai problem kesinambungan dan fenomena
yang telah diuraikan menjadi keberadaan yang bersifat sesaat.
Jadi suatu metode dalam suatu pengajaran
akan berpengaruh dalam suatu perkembangan karaena, tiap pencerapan dari tiap
orang selalu berbeda dan pencerapan yang diterima akan selalu dikembangkan
untuk menjadi sesuatu yang baru.
- PERKEMBANGAN
MAHAYANA
Mahayana merupakan kulminasi dari
spikulasi (pendapat atau keadaan yang tidak berdasarkan kenyataan) dari keadaan
sebenarnya sang Buddha,dan spekulasi ini sudah meluas semasa kehidupan sang
Buddha. Dalam angutara-nikaya ada pertanyaan yang mengenai siapakah sang
Buddha, Buddha menjawab bahwa beliau bukan dewa, maupun gandhaba , manusia atau
yakha, tetapi implikasi yang dinyatakan sang Buddha adalah, sang Buddha telah
menghapus keinginan rendah dan kemelekatan akan segala sesuatu yang ada
didunia, dan beliau tidak dapat dijelaskan sebagai orang yang masih memiliki
hal tersebut, jadi sang Buddha adalah orang yang sudah tidak memiliki keinginan
nafsu rendah atau terbebas dari segala penderitaan.
Secara historis kemunculan Mahayana dimulai sejak Sang
Buddha Parinirvana (544 atau 487 SM ), dan menjadi hampir lengkap pada abad
pertama. Selama setelah parinirvananya Sang Buddha dan menjelang abad tersebut
bermuncullah aliran-aliran pikiran dalam agama Buddha. Oleh karena
itu kemunculan Mahayana perlu dilihat dari adanya konsili-konsili.
Pada konsili kedua di kota Vesali pada pemerintahan raja Kalasoka. Diadakan
mengingat munculnya beberapa masalah berkenaan dengan Dhamma dan Vinaya yang
menimbulkan beberapa perpecahan kemudian muncul dua golongan yaitu Mahasangika
dan Sthaviravada.
Konsili keempat pada tahun 78 M di
Khasmir yang dipimpin oleh Vasumitra dan Asvaghosa yang diselenggarakan atas
anjuran raja Kanishka merupakan titik awal dari perkembangan Mahayana dan pada
konsili ini tidak dihadiri oleh golongan Sthaviravada (sesepuh Theravada).
Mahayana merupakan kulnimasi dari spekulasi yang berkenaan dengan keadaan yang
sebenarnya dari Sang Buddha. Spekulasi ini amat meluas bahkan semasa kehidupan
Sang Buddha. Dalam Anguttara Nikaya untuk menjawab siapakah Buddha? Sang
Buddha, menyatakan dirinya sebagai bukan dewa, gandhaba, atau yakkha atau
manusia. Tahap permulaan dari perkembangan Mahayana ada dua doktrin yang
tumbuh. Pertama adalah doktrin
kemajemukan Buddha-Buddha yang mengarah ke konsepsi monisme transendental
seperti yang diwakili oleh istilah-istilah seperti Tathata dan dharmakaya pada
kitab-kitab Mahayana. Kedua adalah
doktrin tentang mahkluk yang sedang menuju penerangan sempurna (Bodhisattva).
Walaupun
konsepsi transendental Buddha, begitupun konsepsi yang diperluas dari
Bodhisatva dikembangkan dalam lingkungan tiga tradisi yaitu theravada, sarvastivada
dan lokuttaravada. Usaha sengaja untuk merendahkan dan menurunkan status ideal
arahat yang ada pada masa awal baru muncul dengan datangnya
sad-dharmmapundarika “teratai ajaran kebenaran. Perkembangan konsepsi Buddha
mulai dari konsepsi bodhisattva mencapai titik akhirnya pada literatur
prajnaparamita. Istilah prajnaparamitha berarti ‘ kesempurnaan kebijaksanaan’ dan literatur ini dikatakan
demikin karena mengkhususkan diri dalam membentangkan keadaan sebenarya dari
pengetahuan tertinggi atau penerangan sempurna (samyaksambodhi. Pengetahuaan
yang tak mendualah (advaya) yang terbebas dari diskriminasi (nirvikalpa). Ia
yang menyadari ini akan menjadi seseorang yang berkesadaran. Buddha merupakan
perwujudan dari pengetahuaan ini. Tubuh yang di gunakan adalah tubuh dharma
(dharma-kaya), tubuh yang sebenarnya di bandingkan dengan nirmana-kaya yang
sekedar bayangan atau tubuh transformasi. Ia identik dengan realitas terakhir,
yang demikian. Ia tak terucapkan dan di luar jangkauan analisis logika.
Bodhisatva menurut definisi Mahayana
adalah orang yang menunda pencapaian nirvana agar dapat berlanjut terus dalam
samsara dengan harapan dapat menolong semua mahkluk menyeberangi arus
kehidupan. Sementara dipihak lain Bodhisatva haruslah seorang yang memiliki pengertian
atau kebijaksanaan mempunyai minat atau motivasi. Altruisme atau pelayanaan tanpa
mementingkan diri sendiri merupakan ideal yang mempesonakan. Pengorbanan
kebahagiaan orang untuk kesejahteraan yang lainnya secara umum dipandang
sebagai ideal yang mulia pada setiap masyarakat. Hal ini memperlihatkan
bagaimana kaum mahayana, dengan menolak ideal Arahat sebagai sesuatu yang
rendah dan kurang bermutu dan dengan menyajikan suatu ideal yang lebih luhur
dari pelayanan tanpa mementingkan diri sendiri. Menurut Hui-Neng ”jika anda
berharap untuk mengubah orang yang dungu, anda harus memiliki kebijaksanaan
- TRANSENDENTALISME
MADYAMIKA
Dalam
transendendentalisme madyamika dijelaskan bahwa sang buddha maupun nagarjuna
menerima realitas tertinggi di luar jangkauan indra biasa, sesuat yang absolut
yang tidak terungkapkan dengan konsep. Teori kausal seperti
sebab-akibat-sendiri dan
sebab-akibat-eksternal tidak akan berhasil menerangkan kenyataan kenyatan yang
empirik dan khususnya terhadap yang diluar jangkauan manusia
Kausalitas
menurut Nagarjuna adalah relativitas ini adalah sinonim kekosongan (sunyata)
menurutnya; ”setiap dharma adalah relatif. Karenannya setiap dharma juga
kosong. Tak ada dharma yang relatif, karenanya tak ada dharma yang tak
kosong.Jika ada dharma yang tak kosong, ia tidak dapat terjadi secara
bersyarat. Oleh karenanya, jika seseorang menerima ketak-kosongan (asunyata),
orang itu juga menerima ketak-relatifan, dan sebagai akaibatnyaorang itu harus
menerima kemunculan dan kehancuran, ia tak dapat menerima Empat Kebenaran
Mulia”.
Untuk nagarjuna Substansi merupakan
prinsip bersifat metafisika seperti diri untuk buddha atau jiwa untuk upanisad.
Candrakirti yang menelaah lebih lanjut kritikan nagarjuna, menunjukkan bahwa
jika substansi atau sifat bawaan dari akibat dapat ditemukan pada sebab produksi akan menjadi tak berati karena ia kemudian hanya menjadi sekedar
duplikasi sendiri bukan kemunculan suatu faktor yang lebih mencolok yang belum
pernah ada sebelumnya.
Jadi dalam transendentalisme madyamika
menjelaskan tentang suatu keadaan yang absolute. Sesuatu yang tidak dapat di
jangkau oleh indra atau pemikiran manusia sendiri. Tidak dapat di
personifikasikan. Seperti perolehan dalam pencapaian kebuddhan tentang
pencapaian realitas terakhir yang tak terumuskan atau tak terungkapkan
melainkan mengajukan suatu tesis sendiri
menurut istilah-istilah yang tepat dan sesuai.
- IDEALISME YOGACARA
Latihan Yoga atau dinamakan
Yogacara yaitu pemahaman yang tertinggi
yang mana hanyalah kesadaran yang tak membedakan tanpa dikotomi subyek-obyek.
Dalam Idealisme yogacara dijelaskan
bahwa pengikut dari aliran ini adalah kaum Sauntratika. Kaum Sauntratika
memiliki pendapat mengenai suatu obyek yang tidak dapat kontak dengan alat
indra secara langsung karena obyek itu tanpa durasi. Sumbangan pemikiran juga
disokong oleh kaum madyamika bahwa bahwa kaum yogacara tidak menunjuk realitas
apaun bahwa mereka adalah kosong dari isi atau mereka tidak mengungkap keadaan
sebenarnya dari fenomena.kaum madyamika memiliki pendapat bahwa pikiran atau
kesadaran adalah nyata. Karena yang absolute dipandang sebagai suatu yang tank
mendua (advaya) dan non konseptual dan yang sebagai suatu pengalaman duniawi
yaitu dengan diselami pada tingkat kegiuran yoga tertinggi yang hanyalah kesadaran
yang tidak membedakan tanpa sutu dikotomi subyek-obyek.
Vasubandhu berpendapat mengenai konsep
Tiga dunia yang merupakan gagasan belaka, menurutnya akal, pikiran, kesadaran
dan gagasan adalah sininim. Obyek
eksternal hanyalah penampakan, seperti persepsi akan rambut diudara dan
persepsi ganda dari orang yang matanya terkena penyakit. Suatu obyek kelihatan meliput atau menduduki
suatu ruangan tertentu dan jika ia hanya buatan pikiran ia akan terlihat
berbeda, tidak hanya ditempat tertentu tetapi juga dimana tempat kemana pikiran
ditujukan, suatu obyek ketika seseorang memperhatikan tidak ketika orang
melihatnya . jika suatu obyek merupakan buatan ikiran maka penetapan menurut
waktu seperti itu akan jmenjadi keterangan yang tidak memuaskan dan suatu kesadaran
yang diterima tidak dapat diterangkan bila seseorang menyangkal akan suatu
keadaan keberadaan yang nyata dari obyek eksternal . jika suatu obyek hanya
merupakan cerminan mental ,maka kegiatan yang membuahkan (krtya-krya) yang
disebabkan obyek tidak dapat diterangkan.
Contoh seperti seseorang yang lapar dan
ia akan makan , seseorang merasakan lapar dan membayangkan ia ingin kenyang dan
ingin makan. Pikiran berproses dan seseorang memikirkan maka rasa lapar itu
akan semakin bertambahkarena pikiran berproses pada obyek lapar dan
membayangkan makanan. Rasa lapar akan menjadi tidak lapar apabila kita
bertindak untuk makan mengambil makanan dan tidak hanya menghayal. Untuk
mengatasi rasa lapar tidak hanya dengan langsung mengambil makanan tetapi kita
juga dapat mengalihkan pikiran. Rasa lapar dan semakin lapar juga terpengaruh
karena kondisi pikiran kita yang membayangkan rasa lapar itu.
Sebagai contoh lain ketika seseorang
melihat bendera yang berkibar, saat itu orang memandang antara satu dengan yang
lain berbeda ada yang menjawab karena angin, ada yang menjawab karena adanya
bendera berkibar sebenarnya itu karena pikiran kita saja yang merespons atas
apa yang kita lihat sesuai dengan indra yang melihat suatu obyek sehingga
munculah suatu pemikiran. Ketika orang tidak memperhatikan akan kibaran bendera
maka tidak akan adanya suatu jawaban tentang bagaimana bendra itu bergerak.
Dalam sudut kegiuran yoga tertinggi
terdapat suatu bentuk kesadaran murni yang membedakan , pengalaman indra yang
dicirikan oleh perbedaan subyek obyek yang Nampak sebagi khayalan seperti mimpi yang merupakan suatu khayalan
kesadaran yang telah terbangkit. Jadi segala sesuatu yang ada yang didapat atau
di cerap oleh indra akan menghasilkan suatu persepsi atau suatu hal yang
berkondisi sesuati dengan suatu kesadaran kerja proses berfikir dalam diri
manusia
- LAMPIRAN I
METAFISIKA DAN SANG BUDDHA
Keseragaman kausal dan
kesinambungan kepribadian manusia yang dipandang metafisik dalam filsafat
modern tidak dipandang demikian dalam buddhisme awal.
Ada beberapa pertanyaan yang sering sang
Buddha tidak menjawabnya baik mengenai pertanyaan keluasan alam semesta ,
keadaan sebenarnya dari jiwa atau diri dan keadaan dari arahat setelah mati
yang bersifat metafisik. Pandangan metafisik yang dijelaskan dalam bab ini
adalah bagaiman mencari tau yang jauh dari jangkauwan kemampuan kita dari hasil
prediksi dari tiap para ahli atau fisuf. Banyak para ahli yang mencoba untuk
menyedikan jawaban-jawaban atas pertanyaan metafisika yang belun tau jawaban sebenarnya.
Sang Buddha memandang bahwa
pertanyaan-pertanyan itu adalah pertanyaan yang menyesatkan karena akan mengacu
pada ke konsep ke akuan, segala sesuatu memiliki proses dan prose situ serta
pengalaman yang akan memberikan jawaban. Seseorang memiliki persepsi yang
sendiri-sendiri sesuai sudut pandang dan pengalaman yang ia peroleh. Tiap orang
memiliki sudut pandang yang berbeda memiliki penalaran serta pengalaman yang
berbeda-beda. Tidak seperti dalam metafisika yang kita anut berdasarkan
pandangan dan pengalaman orang lain.
Metafisika hanya memandang berdasarkan
eksperimen yang dilakukan oleh para ahli yang menyatakan hasil dari beberapa
pertanyaan yang nantinya akan dijadikan sebuah teori yang berasal dari jawaban
ekperimen pengalaman orang lai yang bersifat prediksi atau belum pasti. Dalam
ajaran sang Buddha berdasarkan bacaan sang Buddha tidak memandang semua itu
sebagi sesuatu yang hanya di pandang berdasarkan tafsiran tetapi suatu
kenyataan yang didapat kan sendiri berdasarkan hasil dari sebuah realita yang
dialami sesuai dengan pengalaman yang didapatkan sendiri.
- RENUNGAN TENTANG
HUBUNGAN ANTARA BUDDHISME AWAL DAN ZEN
Buddhisme Zen berbeda dari
buddhisme awal dalam kaitanya dengan pertama tetapi bersesuaian dengannya dalam
kaitanya dengan yang belakangan.
Dalam Zen, yang dimana Zen adalah Ch’an
dalam bahasa mandarin yang berarti Dhyana atau meditasi. Ajaran Zen sangat
popular di tiongkok. Zen lebih terpusat pada praktek. Segala sesuatu telah
dilakukan dibuktikan dengan praktek. Bab ini menjelaskan mengenai Zen yang
sering percaya adanya suatu penjelasan pada kitab-kitab dan menolaknya. Ajaran
zen memiliki suatu pengertian prinsip yaitu tidak tergantng kepada kata-kata
surat, menunjukan langsung kepada batin manusia, melihat keadaan diri sendiri
sebenarnya, dan pencapaian kebuddhaan.
Dari prinsip yang dianut dalam zen mereka
lebih menekankan pada suatu kenyataan yang dialami berdasarkan atas pembuktian
pengalaman mereka sendiri. Mereka melihat kedalam dalam diri mereka sendiri dan
mereka ingin membuktikan suatu kenyataan itu sendiri berdasarkan pecapaian yang
mereka lakukan sendiri. Mereka tidak membutuhkan teori yang hanya teori belaka
maka dari itu Zen merupakan suatu aliran yang istimewa dengan menjalankan atau
membenarkan segala sesuatu sesuai dengan kenyataan pengalaman sendiri.
Dalam buddhisme awal sang Buddha
memiliki pendapat yang terdapat pada angutara nikaya dengan melambangkan empat tipe individu dan
membandingkan mereka dengan tipe-tipe awan hujan.empat perumpamaan itu adalah
sebagai berikut:
1.
Seorang
yang membaca (Bhasita) tetapi tidak melatih diri (no katta) adalah seperti awan
tampa hujanyang mengguntur (gajjita) tetapi tidak mencurahkan hujan (no vasita)
2.
Seorang
yang melatih diri (katta) tetapi tidak membaca (bhasita )adalah seperti awan
tanpa hujan yang mencurahkan hujan (vassita) tetapi tidak menguntur (no gajjita).
3.
Seorang
yang membaca atau pu melatih diri (n’eva bhasitha no katta) adalah seperti awan
hujan yang tidak menguntur ataupun mencurahkan hujan (na eva gajjita no
vassita)
4.
Seorang
yang membaca maupun melatih diri (bhasita ca katta ca) adalah seperti awan
hujan yang mengguntur dan mencurahkan hujan (gajjita ca vassita ca)
Sang Buddha mengajak seseorang tidak hanya
mengerti akan suatu teori saja melainkan juga praktek. Praktek tetapi
menggunakan metode yang akan menimbulkan penderitaan seperti waktu sang Buddha
akan mencapai suatu penerangan beliau menyiksa diri secara ekstrim meditasi itu
tidak akan mendapatkan suatu pencerahan kebuddhaan tetapi semua itu perlu juga
danya suatu teori yang akan menuntun dalam suatu pembenaran, dan apabila orang hanya memandang sebuah teri
atau praktek seseorang tidak akan mendapatkan apaun karena tidak semua
pengalaman atau persepsi dari seseorang itu sama.
Jadi pada masa Buddha awal adalah sebuah
gambaran dan seiring dengan perkembangan jaman maka disesuaian dan sebuah
pengalaman atau kenyatan tidak hanya berdasarkan teori atau praktek dari orang
lain melainkan diri sendiri agar mendapatkan suatu kebenaran yang akan
menganggakt suatu hasil yang realistis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Filsafat adalah pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat tentang segala yang ada, sebab ,
asal dan hukumnya atau teori yang mendasari alam pikiran ataun suatu kegiatan
atau ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistimologi sering
disebut dengan falsafah.
Gambaran lengkap dari buddhisme awal di
bentuk dari sutta-sutta, sehingga muncul dua tradisi utama yaitu Hinayana dan
Mahayana. Analisis doktrin Buddha awal secara sendiri-sendiri tanpa menggunakan
perspektif hinayana ataupun Mahayana. Dalam buddhisme belakangan mengenai
doktrin-doktrin yang dikatakan oleh Nagarjuna atau Vasubandhu atau Buddhagosa.
Hasilnya adalah penolakan absolutisme dan Transendentalisme seperti bentuk yang
dikenali oleh kaum Hinayana ataupun kaum Mahayana.
B.
Saran
Semoga
makalah ini dapat membantu dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Dan kiranya
pengetahuan filsafat tentang pemikiran logis dapat tercerap dalam setiap
indifidu sebagai pengetahuan dan penuntun dalam kehidupan yang kita hadapi.
DAFTAR PUSTAKA
Kalupahana. David
J. 1986. Filsafat Buddha. Jakarta: Erlangga